Saat Menilai Paradoksal Obyektifitas dari Suatu Kepentingan
Dalam pemikiran logika akal sehat, pada insan makhluk yang bernama manusia sudah diberi bekal oleh pemberi kehidupan berupa akal. Bahkan selain akal atau pikiran juga diberi perangkat dalam istilah agama disebut hati, yang bisa juga dalam sosio kemasyarakatan dinamakan perasaan atau emosi atau naluri.
Dengan perangkat - perangkat tersebut, manusia dihadapkan pada alam kehidupan kemasyarakatan yang penuh dengan tantangan akan kebutuhan dan kepentingan.
Saat dihadapkan pada berbagai kebutuhan dan kepentigan, manusia tentu harus menyikapi dengan suatu sikap tertentu atau keputusan2 tertentu yang harus diambilnya.
Dalam menyikapi suatu realita kehidupan tersebut, manusia dihadapkan pada variabel variabel yang bisa menjadikan suatu keputusan-keputusan atau wujud pilihan2 variabel yang mempengaruhi akan bisa bervariasi dan berubah - ubah.
Meskipun bisa terjadi perubahan suatu pensikapan keputusan atas beberapan pilihan variabel kehidupan, kepada manusia disisi lain juga terdapat suatu indikator-indikator penentu yang bisa menjadikan pegangan dalam pengambilan suatu keputusan atau pilihan sikap.
Tentunya indikator2 yang dijadikan pegangan penentuan sikap atau penilaian sikap, diharapkan dijadikan sebagai ukuran obyektif dalam penilaian atau penentuan sikap itu sendiri.
Mengingat saking banyak faktor yang dapat mempengaruhi suatu penentuan sikap atau pilihan penilaian atas suatu fakta atau kejadian, hendaknya dalam menentukan sikap atau pilihan penilaian, dilakukan secara obyektif, arif, bijaksana, holistik dan integratif, menuju suatu kepatutan dan kelayakan.
Akal logika pemikiran, naluri kemanusiaan dan perasaan atau hati nurani, sebagai dasar tolok ukur manusia dalam pengambilan keputusan atau menilai sesuatu fakta secara obyektif dan patut serta layak.
Saat penggunaan akal atau pikiran, hati nurani atau perasaan dalam menilai sesuatu atau fakta atau kejadian, manusia akan bisa berbenturan dengan suatu kepentingan. Faktor kepentingan akan bisa menjadikan penggunaan pikiran atau akal, hati nurani atau perasaan akan menjadi bersifat paradoksal yang bisa menjadikan kebenaran, kejujuran, obyektifitas atas fakta menjadi bias.
Penggunaan faktor kepentingan dalam menilai suatu obyektifitas apabila tidak dilakukan secara jujur, patut dan layak, akan menghasilkan suatu out put penilaian yang bias dari hakikat obyektifitas itu sendiri.
Apalagi dalam kehidupan suatu kenegaraan, bangsa dan masyarakat yang luas, menilai sesuatu fakta obyektif haruslah jujur, patut dan bijaksana. Tidaklah elok menyampaikan sesuatu penilaian fakta obyektif, berdasarkan kepentingan atas diri sendiri, kelompok, golongan, suku, agama, paham agama tertentu. Dengan kepentingan untuk menghancurkan atau pihak2 lain diluar kepentingan dari kolompok, golongan, agamanya.
Penilaian secara hati-hati, obyektif, jujur, patut, layak, dengan penggunaan logika pemikiran sehat, hati nurani yang dalam, harus dilakukan secara integratif, yang akan menghasilkan penilaian yang obyektif, berkualitas tinggi, berguna bagi kehidupan bersama dalam masyarakat bernegara dan beragama majemuk yang berenikatunggalika, sesuai filosofi negara sebagai dasar pijakan dalam berbangsa, bernegara dan beragama yang bersifat hakiki dan terdalam.
Sehingga dalam tataran empiris maupun filosofis idealis, akan terdapat penilaian yang obyektif, berdasar logika pemikiran akal sehat, hati nurani yang terdalam, kepatutan dan kelayakan, berdasar tolok ukur yang obyektif, bermutu, nir dari suatu kepentingan diri sendiri, kelompok, golongan, suku, agama, paham tertentu, yang karena kepentingan akan berakibat yang bersifat paradoksal.
Suatu analisis, hormat Dr. Suharjono