Mencari Akar Masalah Penyebab Tiadanya Perkara Waris Adat dalam Proses Sengketa pada Peradilan Umum Suatu Paradoksal dalam Tinjauan Sistem Hukum Nasional
Oleh: Dr. Suharjono
A. Abstrak
Dalam suatu komunitas masyarakat pada suatu negara, akan berlaku suatu sistem hukum. Di Negara Indonesia secara empiris berlaku khususnya mengenai sengketa waris dalam proses peradilan adalah sistem hukum Islam, sistem hukum adat dan sistem hukum barat. Masing-masing sistem hukum tersebut idealitasnya harus tetap eksis, tiada penisbian eksistensinya oleh antar sistem hukum itu sendiri. Tidak boleh terjadi penisbian berlakunya sistem hukum oleh satu sistim hukum terhadap sistem hukum yang lain, yang mengakibatkan salah satu sistem hukum menjadi tidak eksis lagi keberadaannya.
Secara das sollen yang ideal, ketiga sistem hukum yang ada tetap eksis, meski secara das sein bisa terjadi peniadaan salah satu sistem hukum terhadap yang lain, sebagai akibat keberadaan salah satu sistem hukum pada tataran peraturan perundangannya memberlakukan suatu ketentuan yang menyangkut kewenangan proses peradilan yang mengenai sebagian besar komunitas yang masuk dalam proses kewenangan dalam sistem hukum yang berbeda atau berlainan sistem hukumnya. Meski sebenarnya bisa terjadi justru secara substantif sesuai kewenangan proses peradilannya tidak memberlakukan esensi sistem hukumnya yang merupakan keharusan, melainkan memberlakukan esensi ketentuan hukum sistem hukum lain sehingga bersifat paradoksal.
B. Pendahuluan
Pada suatu komunitas masyarakat dalam suatu negara secara realitas dapat berlaku lebih dari satu sistem hukum. Dalam sistem kewarisan, pada masyarakat Indonesia pada prinsipnya berlaku 3 sitem hukum, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum barat.
Secara ideal, pada prinsipnya ketiga sistem hukum tersebut harus tetap eksis, keberadaannya bersifat sebagai sistem hukum yang sinergis, berkeseimbangan, berkesejajaran, dalam makna esensi dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat sebagai hukum yang hidup dan dalam proses sengketa dalam proses peradilan.
Namun nuansa yang bersifat idealitas tersebut tidak selamanya menjadi realitas. Secara empiris bisa yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini terjadi jika suatu sistem hukum dari sistem yang ada menjadi kehilangan eksistensinya akibat diberlakukan suatu ketentuan atau norma yang bersifat mencabut kewenangan dari salah satu sistem hukum terhadap sistem hukum lain. Namun menjadi suatu yang bersifat paradoksal setelah menjadi kewenangannya malah justru tidak memberlakukan secara substantif esensi normatif sesuai sistem hukumnya. Melainkan malah memberlakukan esensi normatif dari sistem hukum lain, sehingga bersifat paradoksal.
C. Permasalahan
1. Apakah sistem hukum waris adat masih eksis berlaku dalam proses sengketa waris adat pada proses peradilan ?
2. Bagaimana penerapan sistem hukum waris dari sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum barat dalam proses perkara di peradilan ?
3. Mengapa penerapan sistem hukum waris yang berlaku bersifat paradoksal ?
D. Pembahasan
1. Apakah sistem hukum waris adat masih eksis dalam sengketa waris adat dalam proses di peradilan umum ?
Disini yang dipermasalahkan adalah hakikat atau ontologi dari sesuatu yakni pertanyaan mengenai apakah sistem hukum waris adat masih berlaku dalam proses sengketa di peradilan. Tentu secara sederhana bisa saja dijawab dengan ketentuan yang bersifat normatif sebagai hukum positif, sebagai hukum yang berlaku. Namun kiranya bukan sesederhana demikian untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan atau permasalahan yang bersifat ontologis. Kiranya untuk memberikan jawaban yang bersifat demikian perlu kajian yang mendalam.
Dalam kajian ontologis perlu dimulai dari analisis suatu sistem hukum khususnya sistem hukum waris yang ada yang seharusnya menjadi dasar berlakunya norma positif sebagai hukum yang berlaku.
Sistem hukum termasuk sistem hukum waris harus menjadi dasar adanya norma atau ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga ketentuan perundang-undangan sebagai norma positif yang berlaku harus didasarkan pada sistem hukum yang ada. Suatu ketentuan perundang-undangan yang berlaku selain harus berdasarkan sistem hukum yang ada, juga tidak boleh bertentangan atau tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku yang mendasarinya. Dalam hal ini termasuk peraturan perundang-undangan yang menyangkut hukum waris harus sesuai dengan sistem hukum waris yang mendasarinya. Sehingga dalam peraturan perundangan pewarisan Islam harus sesuai dengan sistem hukum waris Islam, dalam peraturan perundangan-undangan yang menyangkut pewarisan adat yang berlaku harus sesuai dengan sistem hukum adat dan dalam peraturan perundang-undangan yang memberlakukan hukum barat harus sesuai dengan sistem hukum barat.
Dalam masyarakat, sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebelum model kewengan absolut dalam pewarisan pemeluk agama Islam, berlaku model pilihan hukum, boleh memilih hukum mana dalam hal terjadi sengketa warisan apakah ke peradilan umum atau peradilan agama, namun sejak berlakunya model kewenangan absolut dalam proses peradilan bagi pemeluk Islam harus ke peradilan agama dalam hal terjadi sengketa waris, maka semua proses sengketa waris bagi pemeluk Islam harus di peradilan agama. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam maka jika terjadi sengketa waris harus dilakukan di peradilan agama.
Sejak berlakunya ketentuan model absolutisme kewenangan bukan lagi model pilihan hukum, karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam maka hampir semua proses sengketa waris termasuk sengketa waris adat harus dilakukan di peradilan agama, sehingga akibatnya sistem hukum waris adat kehilangan eksistensinya.
2. Bagaimana penerapan hukum waris dari sistem hukum yang berlaku, yakni sistem waris hukum adat, sistem waris hukum Islam dan sistem waris hukum barat dalam proses sengketa di peradilan ?
Pada prinsipnya suatu norma hukum yang berlaku harus berdasarkan suatu sistem hukum tertentu yang melandasi berlakunya. Termasuk pembuatan peraturan perundang-undangan, pemberlakukan dan penerapannya harus berdasar sistem hukum yang berlaku. Suatu sistem hukum yang berlaku harus dijaga keberadaannya agar tetap eksis, tidak boleh peraturan perundang-undangan bertentangan, meniadakan atau menisbikan sistem hukum yang melandasinya. Sistem hukum secara idealitas sedapat mungkin sebagai suatu realitas dalam suatu komunitas kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut terejawantahkan dalam bentuk norma-norma hukum positif, yang biasanya terwujud dalam peraturan perundang-undangan sebagai noma positif yang berlaku pada suatu negara. Oleh karena dalam sistem hukum waris nasional yang berlaku adalah sistem waris hukum Islam, sistem waris hukum adat dan sistem waris hukum barat, maka ketiga sistem hukum waris tersebut harus tetap terjaga eksistensinya secara baik, seimbang, paralel dan masing-masing harus dijaga dan dihormati eksistensi oleh negara. Tidak pada tempatnya perlakuan terhadap ketiga sistem hukum yang berlaku secara tidak seimbang, harmoni dan adil. Tidak boleh memberlakukan salah satu sistem hukum diatas sistem hukum yang lain. Sehingga dalam pembentukan suatu undang-undang harus dilandasi suatu sistem hukum atau dapat dikatakan suatu undang-undang sebagai wujud dari suatu sistem hukum, maka undang-undang yang memberlakukan hukum waris Islam harus sesuai sistem hukum waris Islam, demikian untuk ketentuan hukum adat harus sesuai dengan sistem hukum waris adat dan untuk ketentuan hukum barat harus sesuai sistem hukum waris barat, yang eksistensinya masing-masing harus tetap terjaga secara baik dan seimbang.
Negara dalam membentuk suatu undang-undang yang terkait dengan pemberlakuan sistem hukum waris, tidak hanya semata-mata memperhatikan segi formalitasnya yakni dalam hal terjadi sengketa dalam proses peradilan yang menyangkut pihak-pihak dalam sengketa warisan, melainkan hal yang penting perlu diperhatilan juga adalah substansi hukum waris itu sendiri yang harus keduanya dijaga secara seimbang, harmonis dan sinergis. Jika substansi hukum waris yang dijadikan dasar pijakan dalam perberlakuan hukum waris bukan formalitasnya yang menyangkut pihak-pihak dalam sengketa dalam proses peradilan, maka dengan sendirinya akan terjadi harmoni eksistensi sistem hukum waris, antar sistem hukum waris, secara baik dan harmonis.
Negara wajib menjaga eksistensi masing-masing sistem hukum waris, hukum waris dan penerapan hukum waris dalam kehidupan sosial masyarakat secara empiris, juga dalam penerapan dalam proses peradilan pada peradilan umum, peradilan agama secara sama, seimbang, harmoni, sinergis dan proporsional.
Penerapan sistem hukum waris secara substantif harus bersifat harmoni dan seimbang dengan pengertian: untuk perkara-perkara yang substantifnya sebagai perkara sengketa hukum waris adat jika terjadi proses sengketa di dunia peradilan maka merupakan kewenangan hukum bagi peradilan umum, untuk perkara waris Islam pada peradilan agama, dan untuk perkara waris barat berlaku hukum barat dan kewenangan pada peradilan umum.
3. Mengapa penerapan sistem hukum waris yang berlaku dalam proses peradilan bersifat paradoksal ?
Setelah berlaku ketentuan kewenangan absolut bagi pemeluk agama Islam, sebagai kewenangan peradilan agama jika terjadi sengketa waris dalam proses peradilan bukan bersifat sebagai pilihan hukum seperti ketentuan norma hukum sebelumnya maka mengingat komunitas penduduk Indonesia yang terbesar adalah beragama Islam, maka jika terjadi suatu sengketa waris pihak-pihaknya beragama Islam yang berlaku ketentuan proses sengketa pada peradilan agama. Namun apakah dengan sendirinya akan berlaku secara substantif norma-norma hukum Islam atau syariat Islam sebagaimana mestinya dalam penerapannya pada proses sengketa di peradilan agama.
Dalam proses sengketa waris di peradilan agama akan berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, yang memberlakukan ketentuan warisan bagi para ahli waris adalah sama bagi seluruh ahli waris. Hal ini berbeda dengan norma syariat Islam pada Surat Annisa ayat 11, yang menentukan pembagian warisan dengan perbandingan satu banding dua antara anak perempuan dengan anak laki-laki. Jiwa atau esensi dari Surat Annisa ayat 11 tersebut dalam sistem warisan hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat diluar proses sengketa di peradilan berlaku norma sak gendong dibanding sepikul atau 1 dibanding 2 bagian antara bagian perempuan dengan laki-laki.
Secara empiris, dalam kehidupan masyarakat Jawa, pembagian waris 1 dibanding 2, yang merupakan penyerapan hukum dari norma syariat Surat Annisa ayat 11 dan berlaku secara luas dan turun temurun adalah sistem hukum pembagian waris secara hukum adat yang sesuai syariat Islam. Pada kondisi demikian terjadi proses penyerapan sistem pembagian waris Islam dalam sistem pembagian warisan hukum adat, yang bersifat akulturatif, harmoni dan suka rela. Disini tidak terdapat hegemoni oleh salah satu sistem hukum terhadap yang lain. Hal itu terjadi dalam proses panjang dan bersifat mensejarah turun temurun dan meluas dengan tanpa memperhatikan lagi apa agamanya dan sebagai suatu sistem hukum yang hidup dan sebagai suatu hukum yang eksis dan berlaku.
Harmonisasi eksistensi dan pemberlakuan sistem hukum waris Islam dengan sistem hukum waris adat, yang berlaku dalam waktu yang panjang, turun temurun dan masif sifatnya sebagai norma sosial masyarakat adat adalah tidak dengan sendirinya akan berlaku jika terjadi proses sengketa waris di peradilan karena menyangkut sebagian besar penganut agama Islam yang secara absolut merupakan kewenangan peradilan agama dan berlaku sistem hukum waris Islam. Ternyata pada tataran idealitas yang harus bersifat demikian itu tidaklah berlaku, karena secara realitas dalam proses sengketa waris di peradilan agama yang berlaku adalah Kompilasi Hukum Islam. Secara prinsip sebenarnya pada tataran idealitas seharusnya suatu sistem hukum yang berlaku terdapat kesesuaian antara ketentuan normatif dengan realitas empirisnya. Dalam kondisi demikian pada sistem waris adat seharusnya berlaku ketentuan hukum waris adat, dalam sistem waris Islam berlaku hukum Islam dan dalam sistem waris hukum barat berlaku hukum barat. Tidak boleh terjadi pemberlakuan sistem hukum waris dari ketiga sistem hukum waris tersebut secara paradoksal. Dalam hal secara realitas, suatu sistem hukum seolah-olah diberlakukan dalam proses peradilan tertentu tetapi secara realitas substantif hukum atau esensi hukumnya adalah tidak berlaku melainkan malah sistem hukum lain.
Secara realitas pada proses sengketa waris pada peradilan agama yang berlaku adalah Kompilasi Hukum Islam. Pada Kompilasi Hukum Islam, esensi hukum waris yang berlaku terhadap anak perempuan dan laki-laki adalah sama bagian warisannya, yakni satu banding satu, bukan satu banding dua, sebagaimana ketentuan pada Surat Annisa ayat 11, dan bukan seperti hukum waris adat, yang esensi pewarisan adalah untuk perempuan dan laki-laki satu berbanding dua dan ketentuan pewarisan hukum adat tersebut bersifat turun menurun berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat luas.
Dalam proses sengketa di peradilan agama, dalam pembagian waris berlaku ketentuan pada Kompilasi Hukum Islam, yang membagi bagian warisan pada seluruh ahli waris baik laki-laki maupun perempuan adalah sama, yakni satu banding satu, yang hal ini sama dengan sistem pembagian warisan menurut sistem hukum barat.
E. Penutup
Jika masyarakat membawa sengketa waris pada proses peradilan agama, dengan mempercayai akan berlaku sistem hukum Islam dengan pembagian warisan antara anak perempuan dan laki-laki adalah satu dibanding dua bagian, dalam proses sengketa warisan di peradilan agama tidak akan mendapatkan pemberlakuan sistem hukum Islam yang bersifat demikian melainkan akan mendapat pembagian warisan yang sama bagiannya bagi anak perempuan dan laki-laki, yang pembagian warisan demikian pada prinsipnya sama esensinya dengan sistem pembagian warisan dalam hukum barat yakni sama-sama prinsip pembagian warisan sama satu banding satu.
Disadari atau tidak, dengan berlakunya ketentuan dalam proses sengketa dengan pembagian sama besar atau satu banding satu, jika terjadi pembagian warisan dalam proses peradilan agama, yang hal ini sama dengan ketentuan pewarisan dalam sistem waris hukum barat, maka secara substantif adalah esensi hukum sistem hukum barat, sehingga pembagian warisan dalam proses sengketa pada peradilan agama adalah bersifat paradoksal dari ketentuan sistem pembagian warisan sesuai ketentuan substantif yang seharusnya.
Sofifi, Senin tanggal 22-8-2022