Oleh : Mas Hushendar, S.H., M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Maluku Utara
Menarik menyitir pemberitaan bahwa “Dari 4.317 pegawai hanya separuh yang masuk kantor, sedangkan separuh sisanya atau 2 ribu lebih masih cuti Lebaran tanpa keterangan. Kondisi itu terkuak setelah Gubernur Abdul Gani Kasuba memimpin langsung Halal Bi Halal di Aula Kantor Gubernur, Senin (3/7)” (Seputar Malut, Selasa, 04 Juli 2017, hal 1). Keadaan demikian tidak menutup keumungkinan terjadi di institusi pemerintah lainnya di Maluku Utara. Ini memperlihatkan belum terdapat perubahan pola pikir dan sikap Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemprov Maluku Utara setelah berubah nama menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menekankan terbangunnya “Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat”.
Paradigma kuno tidak masuk kerja pada hari pertama kerja setelah lebaran dengan berdalih “masih suasana lebaran”, semestinya sudah dibuang jauh karena kepentingan negara dan pelayanan masyarakat lebih diutamakan. Menurut John Gardne “Jika kita melayani, maka hidup akan lebih berarti”. Tidak terlayaninya masyarakat berarti pemasukan uang kepada negara menjadi berkurang, padahal gaji ASN diantaranya berasal dari uang hasil pelayanan masyarakat baik dari “Pajak maupun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)”. Tampaknya masih dirasakan tidak cukup atas kebijakan Pemerintah telah menetapkan Hari libur Nasional selama 2 (dua) hari ditambah cuti bersama selama 5 (lima) hari dan ditambah hari libur Sabtu dan Minggu, seluruhnya berjumlah 10 (sepuluh) hari (Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2017 tanggal 15 JUNI 2017 tentang Cuti Bersama Tahun 2017) . Tidak gentar ancaman sanksi, pula tidak hiraukan himbauan pemerintah tidak diperkenankan mengajukan cuti sebelum dan sesudah cuti bersama atau pada dasarnya diintruksikan pada hari Senin tanggal 3 Juli 2017 ASN harus sudah masuk kerja. Logikanya cuti saja yang merupakan hak ASN dilarang, terlebih lagi izin tentu tidak dibenarkan. Apalagi izin yang melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/87/MENPAN/8/2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan dan Disiplin Kerja bahwa “Izin meninggalkan kantor maksimal diberikan 2 (dua) hari dan meninggalkan kantor lebih dari 2 (dua) hari diperhitungkan sebagai cuti”.
Permasalahan terdapat ASN yang telah mengajukan cuti tahunan jauh hari sebelum Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor : B/21/M.KT.02/2017 Tanggal 30 Mei 2017 perihal Himbauan untuk Tidak Memberikan Cuti Tahunan Sebelum dan Sesudah Cuti Bersama Idul Fitri 1438 H diterbitkan, untuk memboyong keluarganya pulang mudik ke Jawa dan tiket pun telah dipesan, namun ia selama bekerja cukup disiplin antara lain tidak pernah izin serta dedikasi dan kontribusi terhadap kantor cukup baik. Menghadapi ASN demikian diperlukan sikap pimpinan yang bijak dan keputusannya dapat dipertanggungjawabkan dengan mendasarkan kepada pertimbangan diskresi.
Himbauan cuti dan izin sebelum dan sesudah cuti bersama Idul Fitri 1438 H ini masih dapat diterobos dengan alasan sebagai berikut :
Alasan pertama sebagai bentuk pertanggungjawaban yang sah perlu didukung dokumen berupa : Surat Tugas (ST), Surat Perjalanan Dinas (SPD), dan pembebanan anggaran perjalanan harus bertanggal yang sama sesuai lamanya perjalanan dinas. Sesuai dengan Peraturan Dirjen Perpendaharaan Nomor : Per-22/PB/2013 tentang Ketentuan Lebih Lanjut Pelaksanaan Perjalanan Dinas bagi pejabat, pegawai negeri dan pegawai tidak tetap, antara lain disyaratkan “Selektif hanya untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas untuk penyelenggaraan pemerintahan, efisiensi penggunaan belanja negara, dan akuntabilitas pemberian perintah pelaksanaan Perjalanan Dinas dan pembebanan biaya Perjalanan Dinas”. Maksudnya perjalanan dinas tersebut bukan dibuat-buat untuk diadakan dengan tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan sehingga perlu dievaluasi. Termasuk pula diminta pertanggungjawaban hasil dari pelaksanaan dinas tersebut berupa laporan yang didukung oleh berbagai dokumen.
Untuk alasan kedua dapat benar adanya ASN tersebut dalam keadaan sakit sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau tidak menutup kemungkinan surat keterangan sakit itu sebagai formalitas belaka untuk alasan tidak masuk kerja karena sesungguhnya ia tidak sakit. Kemungkinan yang terakhir ini menyulitkan pimpinan kantor untuk menelusi dan membantahnya sehingga dikembalikan kepada diri pribadi dari ASN yang bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan kejujurannya kepada pencipta alam semesta. Sebagai umat beragama yaitu Islam yang diyakininya sudah selayaknya ASN memahami arti dan makna kejujuran, serta resiko atau sanksi atas ketidakjujuran itu.
Keimanan seseorang dinilai dari kejujurannya oleh karena itu kejujuran seharusnya merupakan cerminan seorang muslim. Tentu ASN tidak rela dikatakan sebagai “seorang tidak beriman” atau “seorang munafik” karena tidak jujur. Nabi saw bersabda “Tiga indikator kemunafikan seseorang ialah bicara dusta, berjanji palsu, dan jika mendapat amanat ia berkhianat” (HR Bukhari). Pula harus diingat ketidakjujuran bagi seorang beriman membuat perasaan gelisah dan tidak tenang karena merasa berdosa dan takut diketahui kebohongannya sehingga dibenci orang. Namun sikap masyarakat terhadap orang yang tidak jujur kurang agresif dan menimbulkan dampak malu dan takut sehingga prilaku tidak jujur masih banyak terjadi baik di kalangan aparatur negara maupun masyarakat. Pemandangan yang sering kita saksikan seorang terduga koruptor yang diperiksa KPK menyatakan lantang di media masa yakin saya tidak menggunakan keuangan negara sepeser pun, tapi nyatanya di persidangan terbukti korupsi.
Hukum agama bagi yang kurang kuat imannya tidak efektif karena saksinya akan dirasakan setelah berakhirnya kehidupan fana ini, maka penegakan hukum negara sangat diperlukan. Kunci keefektifannya ada pada pimpinan intansi pemerintah secara tegas dan berani untuk menerapkannya secara benar dan adil terhadap ASN yang melanggar disiplin kerja tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil telah jelas kriteria PNS/ASN yang melanggar kewajiban dan larangan beserta jenis hukuman yang dapat dijatuhkan. Salah satu kewajiban PNS adalah masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja. Dijatuhi hukuman disiplin ringan berupa : Teguran lisan, teguran tertulis atau pernyataan tidak puas bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan sah masing-masing selama 5 (lima) hari kerja, 6 (enam) s.d 10 (sepuluh) hari kerja atau 11 (sebelas) s.d 15 (lima belas) hari kerja. Bagi PNS yang lebih lama lagi tidak masuk kerjanya dijatuhi hukuman sedang (Penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat) hingga hukuman disiplin berat yang terberat berupa Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS (Pasal 3 angka 11, pasal 7, pasal 8 angka 9, pasal 9 angka 11 dan pasal 10 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010).
Penegakan hukum yang konsisten terhadap ASN yang melakukan pelanggaran, juga harus diperkuat dengan mengefektifkan secara maksimal pengawasan melekat dan pembinaan atasan secara berjenjang yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini, diharapkan terbentuk ASN berintegritas, profesional, dan berdedikasi tinggi. Tentunya kesuksesan seorang ASN melalui proses dengan setidaknya menguasai berbagai bahasa agar memiliki kekayaan ilmu dan dengan wawasan keilmuan yang tinggi maka akan menjadi seorang profesional untuk tercipta kesuksesan.
Bahkan menjawab tuntutan jaman, seorang ASN harus memiliki jiwa pembaharu dan perubahan berupa : mental, moral dan mindset yang visioner jauh ke depan menyongsong persaingan globalisasi dunia dewasa ini. Heraclitus Filsuf Yunani mengatakan : “Tidak ada yang abadi kecuali perubahan”. Sebagaimana Soekarno mengatakan gantungkan cita-citamu setinggi langit, maka tidak berlebihan apabila segenap ASN memiliki “sifat shiddiq dan amanah, benar dan dapat dipercaya seperti para Nabi dan Rosul” serta memiliki “Jiwa Besar seperti Mohandas Karamchad Gandhi” sebagai pejuang kemerdekaan yang menolak menjadi presiden India sehingga diberi gelar oleh rakyatnya “Mahatma” karena kesederhaan dan Berjiwa Besarnya, maka ke depan diharapkan menjadi ASN yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme dan pungli serta tidak berlomba ingin menjadi pimpinan yang belum tentu amanah dan dapat dipercaya sehingga menjadi kekuatan dan faktor penunjang terciptanya negara yang adil dan makmur.
# Catatan :
Tulisan Artikel/Opini ini telah dimuat dalam Surat Kabar
“Seputar Malut” hari Senin, tanggal 10 Juli 2017 pada Hal. 9.